Rememberence of Allah

Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram. (al-Ra`d:28)

Hakikat Doa

“Maka Allah akan memberi balasan terhadap orang yang menyembunyikan kebenaran, kerana sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang baik buruk seseorang dan Allah Maha Mendengar doa hambaNya yang jujur dan ikhlas.”

KhazanahNya

Indeed, in the creation of the heavens and the earth and the alternation of the night and the day are signs for those of understanding.(Ali-imran 190)

KEINDAHAN ISLAM MEMBAWA PERTUNJUK

O you who have believed, enter into Islam completely [and perfectly] and do not follow the footsteps of Satan. Indeed, he is to you a clear enemy. (Al-Baqarah 208)

Hakikat Hidup

Beautified for people is the love of that which they desire - of women and sons, heaped-up sums of gold and silver, fine branded horses, and cattle and tilled land. That is the enjoyment of worldly life, but Allah has with Him the best return. (Ali-Imran 14)

Wednesday, September 7, 2011

Salam Untukmu Rasulullah.


Tiba-tiba Rasulullah saw menitiskan air mata kerinduan kepada Ikhwan-ikhwan baginda. 
Para sahabat melihat titisan air mata baginda saw..

Suasana di majlis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membisu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Saidina Abu Bakar. 

Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan demikian.


Seulas senyuman yang sedia terukir dibibirnya pun terungkai. 
Wajahnya yang tenang berubah warna. 

"Apakah maksudmu berkata demikian wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" 

Saidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut fikiran.

"Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan)," suara Rasulullah bernada rendah.

"Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain pula. Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. 

Kemudian baginda bersuara:

"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ baginda:

"Siapakah yang paling ajaib imannya?" tanya Rasulullah.

"Malaikat," jawab sahabat.

"Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa hampir dengan Allah," jelas Rasulullah. 

Para sahabat terdiam seketika. 
Kemudian mereka berkata lagi, "Para nabi."

"Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka."

"Mungkin kami," celah seorang sahabat.

"Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada ditengah-tengah kau," pintas Rasulullah menyangkal hujah sahabatnya itu.


"Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih mengetahui," jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.

"Kalau kamu ingin tahu siapa mereka? Mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Quran dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku," jelas Rasulullah.

"Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka," ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.


Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. 
Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. 

Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan buktikan dengan kesungguhan beramal dengan Sunnahnya.

Pada kita yang bersungguh-sungguh mahu menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. 


Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan baginda Rasulullah.


salam untuk mu yaa...rasulullah.....


Thursday, September 1, 2011

Baitul Muslim: Cinta Ali & Fathimah r.a






Ada rahsia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada sesiapa pun.
Fathimah...
Karib kecilnya, puteri tersayang  Nabi, yang adalah sepupunya itu, sungguh mempesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekapan kerjanya,  rupa parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan dengan berhati-hati, ia seka dengan penuh cinta.

Ia bakar perca, ia tempalkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.

Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

Fatimah mengherdik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Nabi.

Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karana merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.

Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama, mungkin karana ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.

Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.


Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. 
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?

Dari sisi keewangan, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”

Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, 
aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.


Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fatimah seorang lelaki lain yang gagah dan perkasa, 
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaitan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebatilan itu juga datang melamar Fathimah.

 ’Umar memang masuk Islam terkebelakang, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?

Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,

”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, ayahanda Fatimah.
Lalu cuba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. 
’Ali menyusul terhadap Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang kecewa kerana tidak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.

Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.

”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. 
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki berani.
’Ali, sekali lagi sedar.

Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.

Apalagi menikahi Fatimah binti Rasulillah!

Tidak. ’Umar jauh lebih layak.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. 
Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang jutawan yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?

Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau  Nabi ingin mengambil menantu dari Ansar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?

Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan?
Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?”

Mengapa bukan engkau yang mencuba kawan?”, kalimat teman-teman Ansarnya itu membangunkan lamunan.

”Mengapa engkau tak mencuba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang dapat kuandalkan?”

“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Ali pun menghadap Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.

Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan!

Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul risiko atas pilihan- pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”

Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.

Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak. Itu risiko.

Kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.

Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ bererti sebuah jawapan!”.

“Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya bererti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.

Sekarang...
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah lelaki sejati.,

 “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” 

Inilah jalan cinta para pejuang. 
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,


“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata

“kalau begitu mengapa engkau mahu menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, kerana pemuda itu adalah Dirimu

Kemudian Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Inilah jalan cinta yang diredhai Tuhan..

POSTED IN: Al-Hawariyyun

Related Posts with Thumbnails

Total Pageviews

Akhir Kalam...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites